MAKALAH
FIQIH 2
“ WAKALAH & KAFALAH”
Guna memenuhi Tugas mata kuliah Fiqih 2 yang di ampu
oleh dosen: Ra Umi Sakrie, Lc., M.Pd.I.
Di susun oleh:
1. Puji tri utami (111-13-240)
2.
Uswatun Khasanah (111-13-097)
3. Ana Biaunika (111-13-
ISTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015/2016
BAB 1
WAKALAH
(PEMBERIAN KUASA)
A.
DEFINISI WAKALAH
Wakalah dalam arti bahasa dari akar kata: wakala yang sinonimnya: salama wa fawadha, artinya: menyerahkan.[1] Wakalah juga diartikan dengan: al-hifzhu, yang artinya: menjaga atau memelihara.[2]
Wakalah dalam arti istilah
didefinisikan oleh para ulama sebagai berikut.
a. Menurut Malikiyah
الوكالة هى ان
ينيب(يقيم) شخص هيره في حق له يتصر ف فيه كتصرف بد ون ان يقيد الانا بة بما بعد
الموت
wakalah adalah
penggantian oleh seseoran terhadap orang lain didalam haknya dimana ia
melakukan tindakan hukum seperti tindakannya,tanpa mengaitkan penggantian
tersebut dengan apa yang terjadi setelah kematian.
b. Menurut Hanafiah
الو كلة هي ان يقيم شخص غيره مقام نفسه في تصرف جائز معلوم على ان يكون
المو كل ممن يملك التصرف
Wakalah adalah penempatan
seseorang terhadap orang lain ditempat dirinya dalam suatu tasarruf yang
dibolehkan dan tertentu,dengan ketentuan bahwa orang yang mewakilkan termasuk
orang yang memiliki hak tasarruf.
c.
Menurut Syafi’iyah
الو كالة هي تفويض
شخص ماله فعله مما يقبل النيا بة الى غيره ليفعله في حيا ته
Wakalah adalah penyerahan oleh
seseorang kepada orang lain terhadap sesuatu yang ia berhak mengerjakannya dan
sesuatu itu bisa digantikan,untuk dikerjakannya pada masa hidupnya.
d. Menurut Hanabilah
الو كلة هي ا ستنا بة
شخص جائز التصرف شخصا مثله جائز التصرف
فيما تدخله النيابة من حقوق الله تعالي و حقوق الا د ميين
Wakalah adalah penggatian oleh
seseorang yang dibolehkan melakukan tasarruf kepada orang lain yang sama-sama
dibolehkan melakukan dalam perbuatan –perbuatan yang bisa digantikan baik
berupa hak Allah maupun hak manusia.”
Dari definisi yang dikemukaka oleh para ulama mazhab
tersebut dapat dipahami bahwa wakalah adalah
suatu akad di mana pihak pertama menyerahkan kepada pihak kedua untuk melakukan suatu perbuatan yang bisa
digantikan oleh orang lain pada masa hidupnya dengan syarat-syarat tertentu.
Dengan demikian, apabila penyerahan tersebut harus dilakukan setelah orang yang
di wakilkan meninggal dunia, seperti wasiat, maka hal itu tidak termasuk wakala.
B. DASAR HUKUM
WAKALAH
Wakalah dibolehkan oleh islam karena sangat
dibutuhkan oleh manusia.
Dasar hukum
diperbolehkannya wakalah, tercantum dalam Al-Qur’an:
Surat yusuf(12)
ayat 55:
قل اجعلنى عل خز ا
ئنى ا للأرض ءانى حفيظ عليم (55)
Berkata
yusuf: “ jadikanlah aku bendaharawan negara(Mesir); sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.”
Disamping Al-Quran, dasar hukum wakalah terdapat juga dalam hadist nabi, diantara
hadis tersebut adalah:
C. RUKUN DAN
SYARAT WAKALAH
1.
Rukun wakalah
Menurut Hanafiah, rukun
wakalah hanya satu, yaitu sighat atau ijab dan qobul. Sedangkan jumhur ulama
selain hanafiah bahwa rukun hanafiah ada 4, yaitu:
a.
Muwakkil atau orang yang mewakilkan
b.
Muwakkal atau wakil,
c.
Muwakkal fil atau perbuatan yang diwakilkan, dan
d.
Shigot atau ijab dan qobul
Untuk terwujudnya
wakalah tidak disyaratkan shigot yang mencakup qobul dari wakil. Akan tetapi
apabila wakil menolak makawakalah tidak jadi dilakukan.
2.
Syarat wakalah
a.
Syarat muwakkil
Orang yang mewakilkan
harus orang yang dibolehkan melakukan sendiri perbuatan yang diwakilkannya
kepada orang lain. Apabila muwakkil tidak boleh melakukan perbuatan tersebut,
misalnya karena gila, atau masih dibawah umur, maka wakalah hukumnya tidak sah. Adapun anak yang sudah
memasuki masa tamyiz, maka tassarufnya terbagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1.
Tassaruf yag betul-betul merugikan seperti talak,
hibah, dan wasiat. Dalam hal ini tassaruf tidak sah sama sekali, dan oleh
karenanya tidak bisa diwakilkan kepada orang lain.
2.
Tassaruf yang betul-betul mengguntungkan , seperti
menerima hibah, atau wasiat. Dalam hal ini tassarufnya sah, walaupun tidak
diizinkan oleh walinya, dan oleh karenanya maka sah pula diwakilkan.
3.
Tassaruf yang mungki mengguntungkan dan mungkin pula
merugikan, misalnya melakukan jual beli dan ijarah. Dalam hal ini tassarufnya
sah apabila diizinkan oleh walinya, dan oleh karenanya maka bisa diwakilkan.
Akan tetapi, apabila walinya tidak mengizinkan maka hokum tassarufnya
mauquf(ditangguhkan) sampai ada izin. Demikian pula wakalahnya.
b.
Syarat wakil
Syarat untuk wakil ada
2 macam, yaitu sebagai berikut.[3]
a.
Orang yang mewakili (wakil) harus orang yang berakal.
b.
Orang yang mewakili (wakil) harus mengetahui tugas
atau perkara yang diwakilkan kepadanya.
c.
Syarat perkara yang diwakilkan (muwakkal fih)
a.
Perkara yang diwakilkan bukan meminta utang(
istiqradh).
b.
Perkara yang diwakilkan tersebut bukan hukuman had
yang tidak disyaratkan pengaduan, seperti had zina.
Selain perkara-perkara
yang disebutkan diatas, wakalah hukumnya sah. Misalnya jual-beli, sewa menyewa,
nikah, talak, hibah, shadaqoh, khulu’, shulh (perdamaian), dan sebagainya.
Hanya saja dalam beberapa akad, shighot sebagai contoh dalam akad nikah, wakil
mempelai laki-laki harus menyatakan dalam qabul-nya.
BERAKHIRNYA AKAD
WAKALAH
Akad wakalah berakhir
karena beberapa hal, yaitu:
1.
Meninggalnya salah seorang dari orang yang melakuka
akad, atau gila.
2.
Telah selesainya pekerjaan yang dimaksudkan dengan
wakalah.
3.
Pemecatan oleh muwakkil terhadap wakil walaupun
ia(wakil) tidak mengetahuinya. Ini menurut syafi’iyah dan hanafiah. Menurut
hanafiah, wakil harus mengetahui tentang pemecatan dirinya. Dengan demikian,
tassaruf wakil sebelum tahu tentang pemecatan dirinya hukumnya sama dengan
tassaruf-nya sebelum dipecat, yakni sah.
4.
Wakil mnegundurkan diri dari tugas wakalah.
5.
Perkara yang diwakilkan telah keluar dari
kepemilikan muwakkil. [4]
BAB II
KAFALAH( PERTANGGUNGAN)
A.
DEFINISI KAFALAH
Kafalah
dalam arti bahasa berasal dari kata: kafala, yang sinonimnya: dhamina, artinya:
menanggug
MACAM-MACAM KAFALAH
1. kafalah bi an-nafs
Pengertian wakalah menurut sayid
Sabiq adalah:
Kafalah
bi an-nafs adalah kewajiban seseorang penjamin untuk mendatangkan yang di tanggung
( makful) kepada makful lahu(tertanggung).
Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa kafalah bi an-nafs adalah suatu kafalah di mana objek
tanggungannya mendatangkan orang ke hadapan tertanggung. Shigot yang digunakan bisa dengan lafad: “ saya jamin untuk mendatangkan si fulan, atau
membawanya badannya atau wajahnya”.
Kafalah bi an-nafs hukumnya
jaiz(boleh) apabila makful bih-nya hak manusia. Apabila kafalah berkaitan
dengan hukuman had, seperti hukuman zina atau hukuman qadzaf, maka kafalah semacam
ini menurut kebanyakan ulama hukumnya sah, alasannya adalah hadis amr ibnu
syu’aib dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Nabi saw bersabda:
d. Syarat maful
‘anhu
Maful ‘anhu
aalah al-mudin,yaitu orang yang memiliki beban utang. Syarat untuk al-mudin
adalah dia tidak mahjur ‘alaih karena boros.
e. Syarat maful
atau maful Bih
maful atau maful
bih adalah objek kafalah,baik berupa barang, utang, orang, maupun pekerjaan
yang wajib di kerjakan oleh maful ‘anhu.
C. MACAM-MACAM
KAFALAH
Secara garis besar
,kafalah terbagi kepada dua bagian:
1. kafalah bi
an-nafs,dan
2.kafalah bi
al-mal.
a. Kafalah bi
An-Nafs
Pengertian
kafalah bi an-nafs menurut Syayid Sayid adalah sebagai berikut.
Kafalah bi
an-nafs adalahKewajiban seorang penjamin untuk mendatangkan oran yang di
tanggung (makful)kepada makful lahu(tertanggung).
Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa Kafalah bi an-nafsadalah suatu kafalah dimana
objek tanggunganya mendatangkan orang ke hadapan tertangung.
Kafalah bi
an-nafs hukumnya jaiz (boleh)apabila maful bih-nya hakmanusia.
2. Kafalah bi
al-Mal
Pengertia
kafalah bi al-mal adalah sebagai berikut
Kafalah bi
al-mal adalah sutu bentuk kafalah dimana penjamin terikat untuk membayar
kewajiban yang bersifat harta
Kafalah bi
al-mal terbagi menjadi bagian yaitu:
a.kafalah bi
ad-Dain
tiga
b. kafalah bi
Al-Ain
3. BERAKHIRNYA
AKAD KAFALAH
Apabila jenis
kafalah-nya kafalah bi al-mal,maka kafalah berakhir dengan alah satu daru dua
perkara:
a. Harta telah
di serahkan kepada pemilik hak(ad-dain) atau dalam pengertian di serahkan,baik
penyeraha tersebut oleh penjamin(kafil)maupun oleh ahli atau maful ‘anhu
(al-mudin).
b. Utang telah
di bebaskan atau dalam pengertian di bebaskan.Apabila pemilik hak
(ad-dain)membebaskan penjamin(kafil)atau ashil(maful ‘anhu),maka kafalah
menjadi berakhir.
Apabila jenis
kafalah-nya kafalah bi an-nafs,maka kafalah berakhir karena tiga sebab,yaitu:
a. Penyerahan
diri orang yang di tuntut di tempat yang memungkinkanya untuk di hadapkan di muka
sidang.
b. Pembebasan
terhadap kafi.oleh pemilik hak dari kewajiban kafalah bi an-nafs.Tetapi ashil
(makful anhu)tidak bebas karena pembebasan tersebut hanya terhadap kafil saja.
c. meninggalnya
makful ‘anhu.Apabila al-ashil mninggal dunia maka kafalah menjadi beakhir,dan
kafil(penjamin)telah bebas dari tugas kafalah bi an-nafs, karena mafl tidak
mungkin untuk di hadirkan. Demikian pula kafalah berakhir karena meninggalnya
penjamin(kafil).
Apabila jenis
kafalah-nya kafalah bi al-ain ,maka kafalah dapat berakhir karena dua hal,
yaitu
a. Peyerahan
benda yang di tanggung (dijamin).
b. Pembebasan
kafil (penjamin) dari tugas kafalah.
[1] Ibrahim Anis,
et.al., Al-Mu’jam Al-Wasith, juz 2, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabiy, Kairo, cet.
II, 1972, hlm. 1054.
[2] Sayid Sabiq,
Fiqh As-Sunnah, juz 3. Dar Al-Fikr, Beirut, cet. 3, 1981, hlm. 226
[3] Abdurrahman
Al-Jaziri., juz 3, hlm. 170-171
[4] Sayid Sabiq,
Fiqh As-Sunnah, juz 3, Dar Al-Fikr, Beirut, cet. III, 1981, hlm. 231.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar