Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul
Fiqh
Dosen
pengampu M. Hanif, M.Hum.
Disusun oleh:
ANA
BI’AUNIKA 111-13-048
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI
(IAIN) SALATIGA
2015-2016
PENDAHULUAN
Ilmu ushul fiqh senantiasa membicarakan dan
menyelidiki tentang keadaan-keadaan dalil-dalil syar’i dan bagaimana caranya
dalil-dalil itu menujukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf.
Seluruh perbuatan mukallaf pasti dapat ditetapkan hukumnya, sehingga
diperlukan adanya dalil yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum itu, ada cara
atau metode yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil tersebut dan
selanjutnya harus ada ahli yang memenuhi persyaratan untuk melakukannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian.
Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab
Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf[1].
Sehingga istilah mahkum ‘alaih disebut dengan subjek hukum.
Secara etimologi, mukallaf berarti orang yang dibebani hukum, baik yang
berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya[2]. Semua tindakan mukallaf
harus dipertangggung jawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia
akan mendapatkan pahala dan kewajibannya terpenuhi. Sebaliknya, jika ia
mengerjakan larangan Allah maka ia akan mendapatkan dosa dan kewajibannya tidak
terpenuhi.
B. Syarat-syarat
menerima beban.
Syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima
beban hukum ada dua macam. Yaitu:
1.
Sanggup memahami perintah yang diberikan kepadanya[3].
Sanggup memahami sendiri atau dengan perantara
orang lain mengenai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-qur’an ataupun hadis
dengan akalnya (akal untuk memahami, menyerap dan mendorong manusia untuk
berkehendak mematuhinya). Karena orang yang tidak sanggup memahaminya, tidak
akan tergerak hatinya untuk mematuhi tututan syara’.
2.
Mempunyai kemampuan menerima beban[4].
a.
Ahliyatul wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban).
Semua orang memiliki kepantasan untuk
memperoleh hak dan kewajiban karena yang menjadi dasar kepantasan ini adalah
kemanusiaan. Bahwa selama seseorang masih hidup, kepantasan tersebut tetap
dimilikinya.
b.
Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat).
Ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah
segala perkataan dan perbuatannya. Yaitu dalam hal pertanggung jawaban dan
asasnya adalah berakal.
C.
Hubungan manusia dengan ahliyatul wujub.
Keadaan manusia bila dihubungkan dengan kemampuan
menerima hak dan kewajiban ada dua macam:
1.
Memiliki ahliyatul wujub tetapi kurang sempurna.
Yaitu apabila seseorang hanya pantas menerima
haknya saja, tetapi belum pantas untuk melaksanakan kewajibannya. Misalnya bayi
yang masih berada di dalam kandungan, sudah mempunyai hak menerima wasiat
tetapi belum mempunyai kewajiban terhadap orang lain.
2.
Memiliki ahliyatul wujub yang sempurna.
Yaitu apabila seseorang sudah pantas menerima
hak dan melaksanakan kewajiban. Kemampuan ini melekat pada diri manusia sejak
dilahirkan sampai meninggal. Dalam keadaan bagaimanapun juga, selama seseorang
masih hidup akan terus memiliki ahliyatul wujub yang sempurna.
D.
Hubungan manusia dengan ahliyatul ada’.
Keadaaan manusia bila dihubungkan dengaan
ahliyatul ada’ ada tiga macam, yaitu:
1. Sedikitpun tidak memiliki ahliyatul ada’.
Yaitu seseorang yang dianggap belum atau tidak
memiliki akal, dan kemampuan berbuat. Segala tutur kata dan tindakan mereka
tidak dapat menimbulkan akibat hukum. Misalnya adalah anak kecil yang belum
dewasa dan orang gila.
2. Memilik ahliyatul ada’ tetapi kurang
sempurna.
Yaitu seseorang yang sudah dapat membedakan
antara baik dan buruk suatu perbuatan, dan manfaatnya atau tidaknya perbuatan
itu. Tetapi pengetahuan yang dimilikinya belum kuat. Seperti halnya anak yang mumayyiz
( berumur antara 7 tahun sampai 15 tahun).
3. Memiliki ahliyatul ada’ yang sempurna.
Yaitu orang yang telah dewasa dan berakal.
Pada prinsipnya, kemampuan untuk berbuat seseorang itu diukur dengan
kesempurnaan akal yang dilihat dari kedewasaan.
Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan fase-fase
yang ditempuh oleh seorang sejak lahir sampai dewasa ada 3 fase[5]:
1. Marhalah
in’idramul idrak (fase tidak mempunyai kesadaran).
Fase ini dimulai sejak seseorang dilahirkan
sampai mencapai umur 7 tahun. Dalam marhalah ini seorang anak ditetapkan belum
mempunyai kesadaran dalam bertindak atau disebut dengan (ghairu mumayyiz).
Sebenarnya ketamyizan seorang anak tidak dapat dipastikan dengan tercapainya
umur ini. Tetapi para fuqaha menetapkan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan
ketamyizan seorang anak demi keseragaman hukum.
Jika anak ghairu mumayyiz melakukan
tindak pidana, maka ia tidak dipidana. Namun dalam hal hukum perdata, ia tetap
dimintai pertanggung jawaban melalui walinya. Dalam menjalankan
kewajiban-kewajiban syari’at, seperti shalat, puasa dan haji, dipandang belum
sah.
2. Marhalah al
idrakud dhaif (fase kesadaran lemah).
Fase ini dimulai sejak seoranga anak berumur 7
tahun sampai umur 15 tahun. Anak dalam marhalah ini disebut anak mumayyiz.
Yaitu tidak dapat dimintai pertangggung jawaban
pidana. Dalam hal perdata ia disamakan dengan anak ghairu mumayyiz.
Dalam hal menjalankan kewajiban syari’at seperti shalat, puasa dan haji,
perbuatannya dipandang sah. Hanya saja jika perbuatan itu rusak atau batal, ia
tidak wajib memperbaikinya.
3. Marhalah al
idrakut tamm (fase kesadaran sempurna)
Fase ini dimulai sejak seorang berumur 15
tahun sampai meninggal dunia.
Dalam marhalah ini seseorang sudah dianggap dewasa dan
karenanya ia sudah mempunyai pertanggung jawaban yang penuh, baik dalam hal hukum
pidana, perdata maupun dalam menjalakan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan.
Skema fase-fase manusia dengan ahliyatul
wujub dan ahliyatul ada’:
|
Fase-fase manusia
|
Kemampuan menerima
|
Kemampuan bertindak
|
Tangggung jawab dalam masalah
|
|||
hak
|
wajib
|
Pidana
|
perdata
|
ibadah
|
|||
1.
|
Anak dlm kandungan
|
ada
|
_
|
_
|
_
|
_
|
_
|
2.
|
Anak yg baru lahir
|
ada
|
Ada (melalui walinya)
|
_
|
_
|
_
|
_
|
3.
|
Ghairu mumayyiz (1-7 th)
|
ada
|
Ada tetapi kurang sempurna
|
_
|
walinya
|
Belum sah
|
|
4.
|
Mumayyiz (7-15 th)
|
ada
|
Dapat ditakzir
|
Sah
(jika rusak mengqadha)
|
|||
5.
|
Dewasa (15 th keatas)
|
ada
|
ada
|
Ada
|
Ada
|
ada
|
ada
|
6.
|
wafat
|
_
|
_
|
_
|
_
|
_
|
_
|
E.
Hal-hal yang menghilangkan kemampuan bertindak
Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak atau yang
disebut dengan ‘awaridul ahliyah itu ada dua macam[6]. Yaitu:
1.
Halangan samawiyah
Ialah halangan yang berada di luar usaha dan ikhtiar
manusia. Halangan samawiyah itu ada 10 macam, yakni:
a.
Keadaan belum dewasa
b.
Gila
c.
Kurang akal
d.
Tidur
e.
Pingsan
f.
Lupa
g.
Sakit
h.
Menstruasi
i.
Nifas
j.
Meninggal dunia
2.
Halangan kasbiyah
Yang disebut dengan halangan kasbiyah adalah
perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau
mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasbiyah ada 7 macam:
a.
Boros
b.
Mabuk
c.
Bepergian
d.
Lalai
e.
Bergurau (main-main)
f.
Bodoh (tidak mengetahui)
g.
Terpaksa
BAB III
KESIMPULAN
Yang dimaksud dengan mahkum’alaih adalah mukallaf
(manusia) yang menjadi objek hukum syara’. Syarat-syarat sahnya seorang
mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yaitu sanggup memahami
perintah yang diberikan kepadanya dan mempunyai kemampuan menerima beban, yaitu
ada kemampuan pasif (ahliyatul wujub) dan kemampuan aktif (ahliyatul
ada’). Ketentuan hukum yang akan diberlakukan kepada mukallaf selalu
disesuaikan dengan kemampuan dan kecakapan manusia. Berhubungan dengan ini maka
kehidupan manusia dan ketetapan pembebanan hukumnya dapat dibagi dalam beberapa
fase karena ada perbedaan dalam pelaksanaan tangggung jawab hukum dan perolehan
hak, yang juga dipengaruhi oleh beberap hal yang menghilangkan kemampuan bertindak
seseorang, yaitu halangan bertindak karena hal-hal diluar usaha manusia (samawiyah)
dan halangan karena perbutan manusia itu sendiri (kasbiyah).
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,
Semarang; Dina Utama Semarang, 1994.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh
1, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam, Semarang; PT Pustaka
Rizki Putra, 2001.
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih - Ushul Fiqh, Bandung; CV Pustak
Setia, 1997.
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Islami, Bandung; PT Al Ma’arif, 1997.
[3] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Cet. II., (Semarang; PT Pustaka
Rizki Putra, 2001), Hlm. 501.
[4] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih - Ushul Fiqh, Cet. 1., (Bandung; CV
Pustak Setia, 1997), Hlm. 134.
[5] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar
Pembinaan Hukum Islami, Cet. IV., (Bandung; PT Al Ma’arif, 1997), Hlm. 168.
[6] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Cet. VI., (Jakarta, Bulan Bintang,
1981), Hlm. 241.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar