Kamis, 09 Juni 2016

MAHKUM ‘ALAIH




Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
Dosen pengampu M. Hanif, M.Hum.

logo iain

Disusun oleh:
ANA BI’AUNIKA   111-13-048

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) SALATIGA
2015-2016

BAB I

PENDAHULUAN
Ilmu ushul fiqh senantiasa membicarakan dan menyelidiki tentang keadaan-keadaan dalil-dalil syar’i dan bagaimana caranya dalil-dalil itu menujukkan hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Seluruh perbuatan mukallaf pasti dapat ditetapkan hukumnya, sehingga diperlukan adanya dalil yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum itu, ada cara atau metode yang digunakan untuk mengeluarkan hukum dari dalil tersebut dan selanjutnya harus ada ahli yang memenuhi persyaratan untuk melakukannya.

BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian.
Ulama ushul fiqh mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mahkum ‘alaih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitab Allah Ta’ala, yang disebut dengan mukallaf[1]. Sehingga istilah mahkum ‘alaih disebut dengan subjek hukum.
Secara etimologi, mukallaf  berarti orang yang dibebani hukum, baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya[2]. Semua tindakan mukallaf harus dipertangggung jawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah Allah, maka ia akan mendapatkan pahala dan kewajibannya terpenuhi. Sebaliknya, jika ia mengerjakan larangan Allah maka ia akan mendapatkan dosa dan kewajibannya tidak terpenuhi.


B.       Syarat-syarat menerima beban.
Syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum ada dua macam. Yaitu:
1.      Sanggup memahami perintah yang diberikan kepadanya[3].
Sanggup memahami sendiri atau dengan perantara orang lain mengenai ketentuan-ketentuan yang ada dalam Al-qur’an ataupun hadis dengan akalnya (akal untuk memahami, menyerap dan mendorong manusia untuk berkehendak mematuhinya). Karena orang yang tidak sanggup memahaminya, tidak akan tergerak hatinya untuk mematuhi tututan syara’.
2.      Mempunyai kemampuan menerima beban[4].
a.       Ahliyatul wujub (kemampuan menerima hak dan kewajiban).
Semua orang memiliki kepantasan untuk memperoleh hak dan kewajiban karena yang menjadi dasar kepantasan ini adalah kemanusiaan. Bahwa selama seseorang masih hidup, kepantasan tersebut tetap dimilikinya.
b.      Ahliyatul ada’ (kemampuan berbuat).
Ialah kepantasan seseorang untuk dipandang sah segala perkataan dan perbuatannya. Yaitu dalam hal pertanggung jawaban dan asasnya adalah berakal.

C.      Hubungan manusia dengan ahliyatul wujub.
Keadaan manusia bila dihubungkan dengan kemampuan menerima hak dan kewajiban ada dua macam:
1.      Memiliki ahliyatul wujub tetapi kurang sempurna.
Yaitu apabila seseorang hanya pantas menerima haknya saja, tetapi belum pantas untuk melaksanakan kewajibannya. Misalnya bayi yang masih berada di dalam kandungan, sudah mempunyai hak menerima wasiat tetapi belum mempunyai kewajiban terhadap orang lain.
2.      Memiliki ahliyatul wujub yang sempurna.
Yaitu apabila seseorang sudah pantas menerima hak dan melaksanakan kewajiban. Kemampuan ini melekat pada diri manusia sejak dilahirkan sampai meninggal. Dalam keadaan bagaimanapun juga, selama seseorang masih hidup akan terus memiliki ahliyatul wujub yang sempurna.

D.      Hubungan manusia dengan ahliyatul ada’.
Keadaaan manusia bila dihubungkan dengaan ahliyatul ada’ ada tiga macam, yaitu:
1.      Sedikitpun tidak memiliki ahliyatul ada’.
Yaitu seseorang yang dianggap belum atau tidak memiliki akal, dan kemampuan berbuat. Segala tutur kata dan tindakan mereka tidak dapat menimbulkan akibat hukum. Misalnya adalah anak kecil yang belum dewasa dan orang gila.
2.      Memilik ahliyatul ada’ tetapi kurang sempurna.
Yaitu seseorang yang sudah dapat membedakan antara baik dan buruk suatu perbuatan, dan manfaatnya atau tidaknya perbuatan itu. Tetapi pengetahuan yang dimilikinya belum kuat. Seperti halnya anak yang mumayyiz ( berumur antara 7 tahun sampai 15 tahun).
3.      Memiliki ahliyatul ada’ yang sempurna.
Yaitu orang yang telah dewasa dan berakal. Pada prinsipnya, kemampuan untuk berbuat seseorang itu diukur dengan kesempurnaan akal yang dilihat dari kedewasaan.

Imam Abdul Qadir Audah menjelaskan fase-fase yang ditempuh oleh seorang sejak lahir sampai dewasa ada 3 fase[5]:
1.      Marhalah in’idramul idrak (fase tidak mempunyai kesadaran).
Fase ini dimulai sejak seseorang dilahirkan sampai mencapai umur 7 tahun. Dalam marhalah ini seorang anak ditetapkan belum mempunyai kesadaran dalam bertindak atau disebut dengan (ghairu mumayyiz). Sebenarnya ketamyizan seorang anak tidak dapat dipastikan dengan tercapainya umur ini. Tetapi para fuqaha menetapkan umur 7 tahun itu sebagai ketetapan ketamyizan seorang anak demi keseragaman hukum.
Jika anak ghairu mumayyiz melakukan tindak pidana, maka ia tidak dipidana. Namun dalam hal hukum perdata, ia tetap dimintai pertanggung jawaban melalui walinya. Dalam menjalankan kewajiban-kewajiban syari’at, seperti shalat, puasa dan haji, dipandang belum sah.
2.      Marhalah al idrakud dhaif (fase kesadaran lemah).
Fase ini dimulai sejak seoranga anak berumur 7 tahun sampai umur 15 tahun. Anak dalam marhalah ini disebut anak mumayyiz.
Yaitu tidak dapat dimintai pertangggung jawaban pidana. Dalam hal perdata ia disamakan dengan anak ghairu mumayyiz. Dalam hal menjalankan kewajiban syari’at seperti shalat, puasa dan haji, perbuatannya dipandang sah. Hanya saja jika perbuatan itu rusak atau batal, ia tidak wajib memperbaikinya.
3.      Marhalah al idrakut tamm (fase kesadaran sempurna)
Fase ini dimulai sejak seorang berumur 15 tahun sampai meninggal dunia.
Dalam marhalah ini seseorang sudah dianggap dewasa dan karenanya ia sudah mempunyai pertanggung jawaban yang penuh, baik dalam hal hukum pidana, perdata maupun dalam menjalakan kewajiban-kewajibannya dengan Tuhan.
Skema fase-fase manusia dengan ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’:

Fase-fase manusia
Kemampuan menerima
Kemampuan bertindak
Tangggung jawab dalam masalah
hak
wajib
Pidana
perdata
ibadah
1.
Anak dlm kandungan
ada
_
_
_
_
_
2.
Anak yg baru lahir
ada
Ada (melalui walinya)
_
_
_
_
3.
Ghairu mumayyiz (1-7 th)
ada
Ada tetapi kurang sempurna
_
walinya
Belum sah
4.
Mumayyiz (7-15 th)
ada
Dapat ditakzir
Sah
(jika rusak mengqadha)
5.
Dewasa (15 th keatas)
ada
ada
Ada
Ada
ada
ada
6.
wafat
_
_
_
_
_
_

E.       Hal-hal yang menghilangkan kemampuan bertindak
Hal-hal yang menghalangi kemampuan bertindak atau yang disebut dengan ‘awaridul ahliyah itu ada dua macam[6]. Yaitu:
1.      Halangan samawiyah
Ialah halangan yang berada di luar usaha dan ikhtiar manusia. Halangan samawiyah itu ada 10 macam, yakni:
a.       Keadaan belum dewasa
b.      Gila
c.       Kurang akal
d.      Tidur
e.       Pingsan
f.       Lupa
g.      Sakit
h.      Menstruasi
i.        Nifas
j.        Meninggal dunia
2.      Halangan kasbiyah
Yang disebut dengan halangan kasbiyah adalah perbuatan-perbuatan yang diusahakan oleh manusia yang menghilangkan atau mengurangi kemampuan bertindak. Halangan kasbiyah ada 7 macam:
a.       Boros
b.      Mabuk
c.       Bepergian
d.      Lalai
e.       Bergurau (main-main)
f.       Bodoh (tidak mengetahui)
g.      Terpaksa





BAB III
KESIMPULAN

Yang dimaksud dengan mahkum’alaih adalah mukallaf (manusia) yang menjadi objek hukum syara’. Syarat-syarat sahnya seorang mukallaf menerima beban hukum itu ada dua macam, yaitu sanggup memahami perintah yang diberikan kepadanya dan mempunyai kemampuan menerima beban, yaitu ada kemampuan pasif (ahliyatul wujub) dan kemampuan aktif (ahliyatul ada’). Ketentuan hukum yang akan diberlakukan kepada mukallaf selalu disesuaikan dengan kemampuan dan kecakapan manusia. Berhubungan dengan ini maka kehidupan manusia dan ketetapan pembebanan hukumnya dapat dibagi dalam beberapa fase karena ada perbedaan dalam pelaksanaan tangggung jawab hukum dan perolehan hak, yang juga dipengaruhi oleh beberap hal yang menghilangkan kemampuan bertindak seseorang, yaitu halangan bertindak karena hal-hal diluar usaha manusia (samawiyah) dan halangan karena perbutan manusia itu sendiri (kasbiyah).

DAFTAR PUSTAKA
Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang; Dina Utama Semarang, 1994.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum  Islam, Semarang; PT Pustaka Rizki Putra, 2001.
Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih - Ushul Fiqh, Bandung; CV Pustak Setia, 1997.

Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami, Bandung; PT Al Ma’arif, 1997.


 [1] Prof. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Cet. I., (Semarang; Dina Utama Semarang, 1994), Hlm. 199.
[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Cet. I., ( Jakarta; Logos Wacana Ilmu, 1997), Hlm. 305.
[3] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum  Islam, Cet. II., (Semarang; PT Pustaka Rizki Putra,  2001), Hlm. 501.
[4] Drs. H. A. Syafi’i Karim, Fiqih - Ushul Fiqh, Cet. 1., (Bandung; CV Pustak Setia, 1997), Hlm. 134.
[5] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, Prof. Drs. Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami, Cet. IV., (Bandung; PT Al Ma’arif, 1997), Hlm. 168.
[6] Teungku M. Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum  Islam, Cet. VI., (Jakarta, Bulan Bintang, 1981), Hlm. 241.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARUNIA ITU BERNAMA AKAL YANG KREATIF

A.     PENDAHULUAN Pola berfikir manusia bermacam-macam. Ada yang biasa berfikir kreatif dan konstruktif, dan ada ju...