Kamis, 09 Juni 2016

ANALISIS HADIS



ANALISIS HADIS
HADIS TARBAWI
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hadis Tarbawi”
Dosen Pengampu: Wahidin, M.Pd.

Oleh: 
Ana Bi’aunika (111-13-048)
Kelas A

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015

A.    Pendahuluan
Al-Qur’an dan hadis (sebagai hukum utama bagi seorang muslim) mempunyai daya atur dan daya jangkau yang tidak dibatasi ruang dan waktu dan tetap akan ideal dalam segala kondisi (dapat diimplikasikan dalam kehidupan aktual).
Oleh karena itu tepatlah kalau dikatakan kaidah hukum Islam adalah kaidah hukum yang paripurna, tidak seperti sistem hukum lainnya (buatan manusia) yang mempunyai lingkungan hukum yang spesifik dan selalu terbatas kepada ruang dan waktu. Keparipurnaan kaidah hukum Islam dapat dibuktikan dengan kompleksnya persolan hidup dan kehidupan yang diatur di dalamnya dan salah satu diantaranya tentang muamalah duniawiyah dalam sistem pembelajaran.
Namun, seringkali terdapat beberapa hadis yang kurang sesuai dengan tema materi pembelajaran yang akan disampaikan. Sehingga baik guru/peserta didik mengalami kesulitan dalam mempelajari materi pembelajaran tersebut. Untuk itulah peneliti telah melakukan sebuah analisis terhadap sebuah hadis yang terdapat dalam buku LKS PAI SMA/MA.
Adapun yang peneliti analisis mengenai keshahihan hadis, apakah hadis tersebut shahih atau tidak. Selain itu juga menyimpulkan hadis, penjelasan hadis serta kesesuain hadis dengan tema pelajaran yang dikaji dalam LKS. Kemudian melampirkan beberapa halaman yang berkaitan sebagai bukti penelitian keshahihan hadis.
Peneliti menyadari dalam menganalisis masih terdapat beberapa kekurangan, sehingga peneliti sangat membutuhkan kritik dan saran sebagai perbaikan bagi peneliti di masa mendatang.






B.     Analisis Keshahihan Hadis
Peneliti telah memilih satu hadis yang terdapat dalam buku LKS PAI SMA/MA untuk dianalisis keshahihannya. Dalam salah satu bab, membahas tentang pengertian dan ketentuan/hukum dari hibah.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ عَمْرَو بْنَ شُعَيْبٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
 مَثَلُ الَّذِي يَسْتَرِدُّ مَا وَهَبَ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِيءُ فَيَأْكُلُ قَيْئَهُ فَإِذَا اسْتَرَدَّ الْوَاهِبُ فَلْيُوَقَّفْ فَلْيُعَرَّفْ بِمَا اسْتَرَدَّ ثُمَّ لِيُدْفَعْ إِلَيْهِ مَا وَهَبَ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al Mahri telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Usamah bin Zaid bahwa 'Amru bin Syu'aib telah menceritakan kepadanya dari Ayahnya dari Abdullah bin 'Amru dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Permisalan orang yang meminta kembali apa yang telah ia berikan seperti anjing yang muntah lalu ia makan lagi. Apabila orang yang telah memberi meminta kembali pemberiannya, maka hendaknya diwakafkan dan diumumkan apa yang ia minta kembali kemudian hendaknya diserahkan kepadanya apa yang telah ia berikan."
Dalam mencari keshahihan hadis, peneliti menggunakan metode takhrij hadis, yang meliputi beberapa tahapan diantaranya:
a.    Takhrij menurut kata kunci matan hadis.
Peneliti memilih lafal yang dianggap sebagai kata kunci yang akan digunakan dalam mencari asal hadis tersebut, yaitu lafaz يَقِيءُ dengan kata dasarnya menjadi قِيءُ
b.    Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan.
Setelah itu, peneliti melacak kata kunci dalam kitab “Mu’jam Fahras”.
c.    Takhrij menurut rawi pertama dan jalur sanad.
Perawi yang ada dalam hadis tersebut adalah Abu Daud.

Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
Urutan Sanad
d.   Takhrij menurut tema hadis.
Setelah itu, peneliti menemukan tema yang berkaitan dengan hadis tersebut yaitu tema ijarah (الرجوع في الهبة )
Kemudian peneliti mencarinya dalam kitab rujukan yaitu “Sahih Sunan Abu daud”. Temanya yaitu tentang mengambil kembali barang yang dihibahkan.
e.    Takhrij menurut status hadis.
Berdasarkan kualitas perawi pertama adalah Abu Daud, yang dikenal shahih begitu pula perawi selanjutnya serta keberadaannya yang memang benar ada dalam kitab “Mu’jam Fahras” dan dalam kitab rujukan “Shahih Sunan Abu daud” yang digunakan, maka hadis tersebut statusnya adalah shahih.








C.    Penutup
1.      Kesimpulan hadis
Dengan menggunakan beberapa tahapan dalam metode takhrij hadis, peneliti melakukan analisis terhadap hadis tentang hukum penarikan kembali hibah yang terdapat dalam buku LKS MA. Dan menyimpulkan bahwa hadis tersebut adalah shahih.
Karena terdapat dalam kitab “Mu’jam Fahras” serta diperkuat pula dalam kitab rujukan “Shahih Sunan Abu daud”, selain itu perawi yang terdapat didalamnya juga sudah dikenal baik kualitasnya yaitu Abu Daud.  Peneliti menyimpulkan bahwa hadis tersebut tergolong dalam hadis yang shahih. Peneliti menyimpulkan bahwa antara hadis di buku LKS dan hadis di kitab rujukan, karena terdapat kesesuaian isi dengan kandungannya dan materi pelajaran yang disampaikan.
2.      Penjelasan isi hadis.
Dalam ketentuan Pasal 212 Kompilasi dengan sangat tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari orang kepada anaknya. Hadis-hadis yang menjelaskan tercelanya menarik kembali hibahnya, menunjukkan keharaman penarikan hibahnya, atau sadaqah yang lain yang telah diberikan kepada orang lain. Kebolehan menarik kembali hibah hanya berlaku bagi orang tua yang menghibahkan sesuatu kepada anaknya.[1] Kebolehan menarik kembali dimaksudkan agar orang tua dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya memperhatikan nilai-nilai keadilan.
Mengenai keharaman menarik kembali hibah yang telah diberikan, ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan disahihkan oleh:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ عَمْرَو بْنَ شُعَيْبٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
 مَثَلُ الَّذِي يَسْتَرِدُّ مَا وَهَبَ كَمَثَلِ الْكَلْبِ يَقِيءُ فَيَأْكُلُ قَيْئَهُ فَإِذَا اسْتَرَدَّ الْوَاهِبُ فَلْيُوَقَّفْ فَلْيُعَرَّفْ بِمَا اسْتَرَدَّ ثُمَّ لِيُدْفَعْ إِلَيْهِ مَا وَهَبَ
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al Mahri telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Usamah bin Zaid bahwa 'Amru bin Syu'aib telah menceritakan kepadanya dari Ayahnya dari Abdullah bin 'Amru dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Permisalan orang yang meminta kembali apa yang telah ia berikan seperti anjing yang muntah lalu ia makan lagi. Apabila orang yang telah memberi meminta kembali pemberiannya, maka hendaknya diwakafkan dan diumumkan apa yang ia minta kembali kemudian hendaknya diserahkan kepadanya apa yang telah ia berikan."
Hadis di atas dengan sangat kongkret menjelaskan bahwa orang yang menarik kembali hibahnya, adalah ibarat anjing yang memakan kembali muntah yang telah dikeluarkannya. Dengan kata lain status hukum barang yang telah dihibahkan kepada orang lain, telah haram menjadi miliknya kembali karena tidak lagi menjadi haknya.[2]
Menurut pendapat ulama al-Hadawiyah dan Abu Hanifah bahwa halal meminta kembali hibah, kecuali hibah kepada orang yang ada hubungan darah atau keturunan. Kata mereka bahwa hadis yang ada hanya menunjukka sangat makruhnya saja, tidak sampai kepada tingkatan haram, tamsil hadis hanya penyucian diri dari perbuatan yang menyerupai anjing.
    Dalam riwayat lain, Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mengemukakan bahwa Rasululah SAW. Pernah bersabda bahwa tidak halal bagi seorang muslim yang memberikan suatu pemberian kemudian dia meminta kembali pemberiannya itu, kecuali orang tua dalam suatu pemberian kemudian dia berikan kepada anaknya, hadis ini dinilai shahih oleh at-Tarmizi, Ibnu Hibban dan al-Hakim, an-Nasa’ dan Ibnu Majah. Imam Malik dan jumhur ulama Madinah berpendapat bahwa boleh mencabut kembali apa yang dihibahkan kepada anaknya, selama anak itu belum kawin, atau belum membuat utang dan belum terkait hak orang lain atasnya. Sementara itu Imam Ahmad dan Fuqaha Zahiri berpendapat bahwa seorang tidak boleh mencabut kembali apa yang telah dihibahkannya, kecuali hibah bapa (termasuk juga ibu, datuk, nenek dan usul yang lain) kepada anak-anaknya. Dalam pada itu Imam Abu Hanafiah berpendapat bahwa seseorang boleh saja mencabut kembali apa yang telah dihibahkan kepada seseorang, kecuali apa yang telah dihibahkannya kepada perempuan yang mahram.[3] Menurut pendapat Mazhab Syafii, Hanbali dan sebahagian fuqaha Mazhab Maliki penarikan balik hibah boleh berlaku dengan semata-mata ijab dan qabul. Tetapi apabila disertakan dengan penyerahan dan penerimaan barang (al-qabd) maka hibah berkenaan tidak boleh ditarik balik kecuali hibah yang dibuat oleh bapa (termasuk juga ibu, datuk, nenek dan usul yang lain) kepada anak-anaknya selama mana harta itu tidak ada kaitan dengan orang lain.
Dalam hukum perdata, hibah yang telah diberikan oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali dan dihapuskan, kecuali sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1668 KUH Perdata, yaitu:[4]
1.      Karena orang yang menerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh orang yang memberi hibah, syarat ini biasanya berbentuk pembebanan kepada orang yang menerima hibah.
2.      Orang yang menerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan suatu kewajiban yang bertujuan menghilangkan jiwa orang yang memberi hibah, atau sesuatu kejahatan yang lain bertjuan menghilangkan dan mencelakakan orang yang memberi hibah.
3.      Jika orang yang menerima hibah menolak untuk memberikan tunjangan nafkah terhadap diri orang yang memberi hibah karena ia jatuh miskin.




     [1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 467.
     [2] Ahmad Rofiq, op cit., h. 477-478.
     [3] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 139-140.
     [4] Ibid., h. 140-141.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARUNIA ITU BERNAMA AKAL YANG KREATIF

A.     PENDAHULUAN Pola berfikir manusia bermacam-macam. Ada yang biasa berfikir kreatif dan konstruktif, dan ada ju...