ANALISIS HADIS
HADIS TARBAWI
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hadis Tarbawi”
Dosen Pengampu: Wahidin, M.Pd.
Oleh:
Ana Bi’aunika (111-13-048)
Kelas A
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2015
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an dan hadis (sebagai hukum
utama bagi seorang muslim) mempunyai daya atur dan daya jangkau yang tidak
dibatasi ruang dan waktu dan tetap akan ideal dalam segala kondisi (dapat
diimplikasikan dalam kehidupan aktual).
Oleh karena itu tepatlah kalau dikatakan
kaidah hukum Islam adalah kaidah hukum yang paripurna, tidak seperti sistem
hukum lainnya (buatan manusia) yang mempunyai lingkungan hukum yang spesifik
dan selalu terbatas kepada ruang dan waktu. Keparipurnaan kaidah hukum Islam
dapat dibuktikan dengan kompleksnya persolan hidup dan kehidupan yang diatur di
dalamnya dan salah satu diantaranya tentang muamalah duniawiyah dalam sistem
pembelajaran.
Namun, seringkali terdapat beberapa
hadis yang kurang sesuai dengan tema materi pembelajaran yang akan disampaikan.
Sehingga baik guru/peserta didik mengalami kesulitan dalam mempelajari materi
pembelajaran tersebut. Untuk itulah peneliti telah melakukan sebuah analisis
terhadap sebuah hadis yang terdapat dalam buku LKS PAI SMA/MA.
Adapun yang peneliti analisis
mengenai keshahihan hadis, apakah hadis tersebut shahih atau tidak. Selain itu
juga menyimpulkan hadis, penjelasan hadis serta kesesuain hadis dengan tema
pelajaran yang dikaji dalam LKS. Kemudian melampirkan beberapa halaman yang
berkaitan sebagai bukti penelitian keshahihan hadis.
Peneliti menyadari dalam
menganalisis masih terdapat beberapa kekurangan, sehingga peneliti sangat
membutuhkan kritik dan saran sebagai perbaikan bagi peneliti di masa mendatang.
B.
Analisis Keshahihan Hadis
Peneliti
telah memilih satu hadis yang terdapat dalam buku LKS PAI SMA/MA untuk
dianalisis keshahihannya. Dalam salah satu bab, membahas tentang pengertian dan
ketentuan/hukum dari hibah.
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي
أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ عَمْرَو بْنَ شُعَيْبٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ
مَثَلُ الَّذِي يَسْتَرِدُّ مَا وَهَبَ كَمَثَلِ
الْكَلْبِ يَقِيءُ فَيَأْكُلُ قَيْئَهُ فَإِذَا اسْتَرَدَّ الْوَاهِبُ
فَلْيُوَقَّفْ فَلْيُعَرَّفْ بِمَا اسْتَرَدَّ ثُمَّ لِيُدْفَعْ إِلَيْهِ مَا
وَهَبَ
Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al Mahri telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Usamah bin Zaid bahwa 'Amru bin
Syu'aib telah menceritakan kepadanya dari Ayahnya dari Abdullah bin 'Amru dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda:
"Permisalan
orang yang meminta kembali apa yang telah ia berikan seperti anjing yang muntah
lalu ia makan lagi. Apabila orang yang telah memberi meminta kembali
pemberiannya, maka hendaknya diwakafkan dan diumumkan apa yang ia minta kembali
kemudian hendaknya diserahkan kepadanya apa yang telah ia berikan."
Dalam
mencari keshahihan hadis, peneliti menggunakan metode takhrij hadis, yang
meliputi beberapa tahapan diantaranya:
a.
Takhrij
menurut kata kunci matan hadis.
Peneliti
memilih lafal yang dianggap sebagai kata kunci yang akan digunakan dalam
mencari asal hadis tersebut, yaitu lafaz يَقِيءُ dengan
kata dasarnya menjadi قِيءُ
b.
Takhrij
menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan.
Setelah
itu, peneliti melacak kata kunci dalam kitab “Mu’jam Fahras”.
c.
Takhrij
menurut rawi pertama dan jalur sanad.
Perawi yang ada
dalam hadis tersebut adalah Abu Daud.
|
d.
Takhrij
menurut tema hadis.
Setelah
itu, peneliti menemukan tema yang berkaitan dengan hadis tersebut yaitu tema ijarah
(الرجوع في الهبة )
Kemudian
peneliti mencarinya dalam kitab rujukan yaitu “Sahih Sunan Abu daud”. Temanya
yaitu tentang mengambil kembali barang yang dihibahkan.
e.
Takhrij
menurut status hadis.
Berdasarkan
kualitas perawi pertama adalah Abu Daud, yang dikenal shahih begitu pula perawi
selanjutnya serta keberadaannya yang memang benar ada dalam kitab “Mu’jam
Fahras” dan dalam kitab rujukan “Shahih Sunan Abu daud” yang digunakan, maka
hadis tersebut statusnya adalah shahih.
C.
Penutup
1.
Kesimpulan hadis
Dengan menggunakan beberapa tahapan dalam metode takhrij hadis,
peneliti melakukan analisis terhadap hadis tentang hukum penarikan kembali
hibah yang terdapat dalam buku LKS MA. Dan menyimpulkan bahwa hadis tersebut
adalah shahih.
Karena terdapat dalam kitab “Mu’jam Fahras” serta diperkuat pula
dalam kitab rujukan “Shahih Sunan Abu daud”, selain itu perawi yang terdapat
didalamnya juga sudah dikenal baik kualitasnya yaitu Abu Daud. Peneliti menyimpulkan bahwa hadis tersebut
tergolong dalam hadis yang shahih. Peneliti menyimpulkan bahwa antara hadis di
buku LKS dan hadis di kitab rujukan, karena terdapat kesesuaian isi dengan
kandungannya dan materi pelajaran yang disampaikan.
2.
Penjelasan isi hadis.
Dalam ketentuan Pasal 212 Kompilasi dengan sangat
tegas menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah dari
orang kepada anaknya. Hadis-hadis yang menjelaskan tercelanya menarik kembali
hibahnya, menunjukkan keharaman penarikan hibahnya, atau sadaqah yang lain yang
telah diberikan kepada orang lain. Kebolehan menarik kembali hibah hanya
berlaku bagi orang tua yang menghibahkan sesuatu kepada anaknya.[1] Kebolehan menarik kembali dimaksudkan agar orang tua
dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya memperhatikan nilai-nilai keadilan.
Mengenai keharaman menarik kembali hibah yang telah
diberikan, ditunjukkan oleh sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dan disahihkan oleh:
حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي
أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ عَمْرَو بْنَ شُعَيْبٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوعَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ
مَثَلُ الَّذِي يَسْتَرِدُّ مَا وَهَبَ كَمَثَلِ
الْكَلْبِ يَقِيءُ فَيَأْكُلُ قَيْئَهُ فَإِذَا اسْتَرَدَّ الْوَاهِبُ
فَلْيُوَقَّفْ فَلْيُعَرَّفْ بِمَا اسْتَرَدَّ ثُمَّ لِيُدْفَعْ إِلَيْهِ مَا
وَهَبَ
Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Daud Al Mahri telah mengabarkan kepada
kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Usamah bin Zaid bahwa 'Amru bin
Syu'aib telah menceritakan kepadanya dari Ayahnya dari Abdullah bin 'Amru dari
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Permisalan
orang yang meminta kembali apa yang telah ia berikan seperti anjing yang muntah
lalu ia makan lagi. Apabila orang yang telah memberi meminta kembali
pemberiannya, maka hendaknya diwakafkan dan diumumkan apa yang ia minta kembali
kemudian hendaknya diserahkan kepadanya apa yang telah ia berikan."
Hadis di atas dengan sangat kongkret menjelaskan
bahwa orang yang menarik kembali hibahnya, adalah ibarat anjing yang memakan
kembali muntah yang telah dikeluarkannya. Dengan kata lain status hukum barang
yang telah dihibahkan kepada orang lain, telah haram menjadi miliknya kembali
karena tidak lagi menjadi haknya.[2]
Menurut pendapat ulama al-Hadawiyah dan Abu Hanifah
bahwa halal meminta kembali hibah, kecuali hibah kepada orang yang ada hubungan
darah atau keturunan. Kata mereka bahwa hadis yang ada hanya menunjukka sangat
makruhnya saja, tidak sampai kepada tingkatan haram, tamsil hadis hanya
penyucian diri dari perbuatan yang menyerupai anjing.
Dalam riwayat lain, Ibnu Umar dan Ibnu
Abbas mengemukakan bahwa Rasululah SAW. Pernah bersabda bahwa tidak halal bagi
seorang muslim yang memberikan suatu pemberian kemudian dia meminta kembali
pemberiannya itu, kecuali orang tua dalam suatu pemberian kemudian dia berikan
kepada anaknya, hadis ini dinilai shahih oleh at-Tarmizi, Ibnu Hibban dan
al-Hakim, an-Nasa’ dan Ibnu Majah. Imam Malik dan jumhur ulama Madinah
berpendapat bahwa boleh mencabut kembali apa yang dihibahkan kepada anaknya,
selama anak itu belum kawin, atau belum membuat utang dan belum terkait hak
orang lain atasnya. Sementara itu Imam Ahmad dan Fuqaha Zahiri berpendapat
bahwa seorang tidak boleh mencabut kembali apa yang telah dihibahkannya, kecuali hibah bapa (termasuk juga ibu, datuk,
nenek dan usul yang lain) kepada anak-anaknya. Dalam pada itu Imam Abu Hanafiah berpendapat bahwa
seseorang boleh saja mencabut kembali apa yang telah dihibahkan kepada
seseorang, kecuali apa yang telah dihibahkannya kepada perempuan yang mahram.[3] Menurut pendapat Mazhab Syafii,
Hanbali dan sebahagian fuqaha Mazhab Maliki penarikan balik hibah boleh berlaku
dengan semata-mata ijab dan qabul. Tetapi apabila disertakan dengan penyerahan
dan penerimaan barang (al-qabd) maka hibah berkenaan tidak boleh ditarik balik
kecuali hibah yang dibuat oleh bapa (termasuk juga ibu, datuk, nenek dan usul
yang lain) kepada anak-anaknya selama mana harta itu tidak ada kaitan dengan
orang lain.
Dalam hukum perdata, hibah yang telah diberikan
oleh seseorang kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali dan dihapuskan,
kecuali sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 1668 KUH Perdata, yaitu:[4]
1. Karena
orang yang menerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
oleh orang yang memberi hibah, syarat ini biasanya berbentuk pembebanan kepada
orang yang menerima hibah.
2. Orang
yang menerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan suatu
kewajiban yang bertujuan menghilangkan jiwa orang yang memberi hibah, atau
sesuatu kejahatan yang lain bertjuan menghilangkan dan mencelakakan orang yang
memberi hibah.
3. Jika
orang yang menerima hibah menolak untuk memberikan tunjangan nafkah terhadap
diri orang yang memberi hibah karena ia jatuh miskin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar